Insiden Santa Cruz
Insiden
Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz atau Peristiwa 12
November) adalah penembakan demonstran Timor Timur di pemakaman Santa Cruz di
Dili pada 12 November 1991.
Pada
bulan Oktober 1991, sebuah delegasi yang terdiri dari anggota parlemen Portugal
dan 12 orang wartawan dijadwalkan akan mengunjungi Timor Timur. Para mahasiswa
telah bersiap-siap menyambut kedatangan delegasi ini.
Namun rencana ini dibatalkan
setelah pemerintah Indonesia mengajukan keberatan atas rencana kehadiran Jill
Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia
yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Pembatalan
ini menyebabkan kekecewaan mahasiswa pro-kemerdekaan yang berusaha mengangkat
isu-isu perjuangan di Timor Timur. Kekecewaan ini menyebabkan situasi memanas
antara pihak pemerintah Indonesia dan para mahasiswa.
Puncaknya pada tanggal 28
Oktober, pecah konfrontasi antara aktivis pro-integrasi dan kelompok
pro-kemerdekaan yang pada saat itu tengah melakukan pertemuan di gereja Motael
Dili. Pada akhirnya, Afonso Henriques dari kelompok pro-integrasi tewas dalam
perkelahian dan seorang aktivis pro-kemerdekaan, Sebastião Gomes yang ditembak
mati oleh tentara Indonesia.
Pada
tanggal 12 November 1991, para demonstran yang terdiri dari mahasiswa dan
pemuda mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada
prosesi penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes. Dalam prosesi pemakaman, para
mahasiswa menggelar spanduk untuk meminta penentuan nasib sendiri dan
kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin pro-kemerdekaan Xanana Gusmao.
Pada
saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari
orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250
menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal
Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian
ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn;
dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman
untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil
menyelundupkan pita video tersebut ke Australia.
Mereka memberikannya kepada
seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak
berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan
melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba
di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In
Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada
Januari 1992.
Tayangan
tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan
permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki
komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras.
Banyak
rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah
meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang
melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis.
Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan
pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa
yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah
berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun
hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka,
bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri
Gareth Evans, 'suatu penyimpangan'.
Kejadian
ini kini diperingati sebagai Hari Pemuda oleh negara Timor Leste yang merdeka.
Tragedi 12 November ini dikenang oleh bangsa Timor Leste sebagai salah satu
hari yang paling berdarah dalam sejarah mereka, yang memberikan perhatian
internasional bagi perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan.
SOURCE :
WIKIPEDIA
WIKIPEDIA
No comments:
Post a Comment